Di sela-sela waktu yang semakin tipis untuk sekadar tidur
atau baca buku (bukan pelajaran), akhirnya gue berhasil membaca dua novel.
Hore. Ini sebuah pemecahan rekor :’)
Novel pertama, hasil beli di Detos waktu jalan-jalan sama
Ririn minggu lalu. Judulnya The Faults in Our Stars. Kata yang udah baca, sih,
bagus. Sampai nangis-nangis bacanya. Well, menurut gue biasa aja :v entahlah,
mungkin emang hati gue lagi beku atau gimana (?) Ceritanya cukup bagus, sih.
Terus bahasanya juga. Banyak fisalafatnya gitu. Tapi karena filsafat itu, ada
beberapa part yang enggak gue mengerti. Atau bisa gue ngerti, kalo udah baca
ulang buku History of Psychology dulu. Iya, bahkan di novel pun ada materi
pelajaran. Mengerikan.
Novel kedua, hasil minjem di perpus FUSI Jumat kemarin.Fyi, FUSI itu sejenis ROHIS kalau di sekolah dulu
:D buku-bukunya enggak cuma yang berbau islami aja, novel-novel sastra banyak
juga :D dan gue menemukan banyak novel yang ingin gue beli hahahahha :D
Alhamdulillah, engga usah beli, uang buat beli novelnya bisa buat jajan di
kosan :v
Gue minjem novel-nya Tere Liye yang judulnya Sepotong Hati
yang Baru. Hm gue pikir ini novel Cuma satu cerita aja. Ternyata ada beberapa
potong cerita gitu. Nah salah satu cerita di dalamnya, judulnya Sepotong Hati
yang Baru, sama kayak judul bukunya.
Cerita satu itu tuh yang mau gue share haha cocok buat yang
galau-galau engga jelas :p
Ceritanya diawali dengan dua tokoh, pria dan wanita, yang
sedang bertemu di sebuah tempat favorit mereka. Mereka sedang terlibat
percakapan serius. Jadi intinya, saat itu adalah pertemuan pertama mereka
setelah beberapa tahun mereka tidak bertemu. Btw, POV cerita ini dari si cowo ya.
Dulu, pria dan wanita ini adalah sepasang kekasih yang
serius dan sudah siap untuk menikah. Sudah menyiapkan semuanya. Tinggal
menunggu hari H aja. One day, si wanita tiba-tiba bertemu pria asing dan, ya,
seperti cerita klasik lainnya, si wanita mencintai pria asing ini. Padahal baru
lima hari ketemu. Lima hari yang membawa si wanita semakin mendekat ke hari
pernikahannya sebenarnya. Dan ia memutuskan untuk membatalkan pernikahan dengan
pacarnya karena ia yakin pria asing yang ia cintai pada pandangan pertama ini
adalah cinta sejatinya.
Cewe sekejam itu, ya. Bodoh, percaya aja sama cinta-pada-pandangan-pertama.
Si pria calon mempelai lelaki tentu aja galau. Tapi dia pria
yang baik. Tidak bisa juga memaksa wanita ini untuk terus bersamanya. Akhirnya ia
memilih untuk merelakan. Merelakan walau hatinya hancur berkeping dan hilang.
Ini engga lebay, serius. Ya lo coba bayangin aja kalau ada orang yang mau
nikah, terus ditinggal gitu aja demi seseorang dan alasan yang enggak jelas,
sakit engga? Belum lagi keluarga harus menahan malu yang amat sangat.
Sampai akhirnya, malam itu si wanita meminta untuk bertemu
lagi. And guess what? Yaa, si wanita sepertinya mau kembali lagi. Kayak di
film-film, si cowo orang asing itu bukan siapa-siapa dibanding pria yang
sekarang sudah jadi mantannya itu. Dengan segala harapan yang masih ada, si
wanita mau minta balikan.
Nah, ini part yang gue suka. Gue salin aja langsung dari
novel-nya, ya.
“Apakah.. apakah di
hati yang baru itu masih tersisa namaku?” Alysa mengangkat wajahnya, cemas
mendengar intonasiku.
“Maafkan aku, Alysa.
Aku sudah menikah. Bukan dengan seorang yang amat aku cintai, aku inginkan. Tetapi
setidaknya ia bisa memberiku sepotong hati yang baru, maafkan aku. Kau lihat. Ini
cincin pernikahan kami,batu giok,” aku menelan ludah.
Hening sejenak. Alysa mematung.
Aku mengangkat bahu.
Alysa menyeka
ujung-ujung matanya. Mengangguk pelan. Ia tahu persis itu simbol batu
kelahiranku. Malam ini semua sungguh terasa menyesakkan. Gadis itu beringsut
berdiri dari tempat duduknya, beranjak pergi.
Maafkan aku, Alysa,
aku berbisik pelan menatap selimut gelap lautan. Melepas cincin. Ini bukan
cincin milkku. Ini kepunyaan adikku—yang juga menyukai batu giok. Ada gunanya
juga memutuskan untuk mengenakan cincin ini sebelum bertemu dengan Alysa. Aku belum
menikah. Aku selalu mengharap kau kembali. Selalu. Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu
pertama kau pergi aku tega berharap dan berdoa Tuhan menakdirkan pria itu
bernasib malang.
Tetapi malam ini,
ketika melihat wajah sendumu, mata sembapmu, semua cerita tidak masuk akal itu,
aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal memaafkan. Cinta bukan sekadar
soal menerima apa adanya. Cinta adalah rasionalitas sempurna.
Jika kau memahami
cinta adalah perasaan irasional, sesuatu yang tidak masuk akal, tidak butuh
penjelasan, maka cepat atau lembat, luka itu akan menganga kembali. Kau dengan
mudah membenarkan apa pun yang terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa memberikan
kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena kau tidak mampu untuk
mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih tidak kurang.
Udah nangkep, kan, yang gue maksud? :)
-
-Deska